Hukum Menyebarluaskan Identitas Orang Lain

Pertanyaan :
Hukumnya Menyebarluaskan Identitas Orang Lain
Kemarin sempat ramai masalah Mendagri yang menyebarkan identitas seorang orator kepada wartawan, data pribadi yang menjadi privasi seorang warga negara disebarluaskan oleh menteri. Apakah hukumnya jika e-KTP seseorang yang merupakan data pribadi disebarluaskan oleh menteri?
Jawaban :

Intisari:

Pada dasarnya hak privasi seorang warga negara dijamin dan dilindungi oleh negara, tindakan yang menyebarluasakan identitas warga negara merupakan perbuatan yang melanggar jaminan perlindungan hak privasi seorang warga negara.

KTP merupakan dokumen kependudukan resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang memuat data kependudukan yang diperoleh dari kegiatan pendaftaran penduduk. KTP juga memuat data pribadi/data perseorangan. Data Perseorangan dan dokumen kependudukan wajib disimpan dan dilindungi kerahasiaannya oleh Negara.

Setiap orang yang menyebarkan data kependudukan dan data pribadi seseorang dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25 juta.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Jaminan Perlindungan Hak Privasi Warga Negara

Kartu Tanda Penduduk (“KTP”)/elektonik KTP (e-KTP)/ KTP-el merupakan data kependudukan yang bersifat pribadi (privasi) yang wajib dilindungi. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak privasi di Indonesia?

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Apakah Hak atas Privasi Termasuk HAM?, hak atas privasi memang tidak dicantumkan secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Namun, secara implisit hak atas privasi terkandung di dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Masih bersumber dari artikel yang sama, rumusan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tersebut memiliki nuansa perlindungan yang sama dengan rumusan Article 12 Universal Declaration of Human Rights (“UDHR”) yang kemudian diadopsi ke dalam Article 17 International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”) yang secara eksplisit memberikan jaminan terhadap hak atas privasi.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Mahkamah Konstitusi memberikan terjemahan atas Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR. Dalam terjemahan tersebut, kata “privacy” diterjemahkan sebagai “urusan pribadi/masalah pribadi” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28G UUD NRI 1945 sebagai berikut:

Article 12 UDHR :

No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.

Terjemahan dalam Putusan MK:

Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini.

Article 17 ICCPR :

1. No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation;

2. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.

Terjemahan dalam Putusan MK

1. Tidak ada seorang pun yang boleh dicampuri secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.

2. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, meskipun tidak secara eksplisit menyatakan mengenai hak atas privasi, rumusan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 telah mengandung nilai-nilai hak atas privasi yang dijamin di dalam Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR. Oleh karena itu, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dapat dikatakan sebagai landasan konstitusional mengenai jaminan hak atas privasi.

Perlindungan Data Pribadi Menurut UU ITE

Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan data pribadi terdapat dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) yang berbunyi:

1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:[1]

a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan mematamatai.

c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap data seseorang termasuk ke dalam hak pribadi (hak privasi) seseorang.

KTP Sebagai Dokumen Kependudukan yang Dilindungi

Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 23/2006”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”).

Kartu Tanda Penduduk (“KTP”) Elektronik adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.[2]

KTP merupakan dokumen kependudukan. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.[3]

KTP merupakan dokumen kependudukan yang merupakah hasil dari kegiatan pendaftaran penduduk yang berupa kartu identitas.[4]

Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.[5] Hasil dari kegiatan pendaftaran penduduk tersebut diperolehlah Data Kependudukan.[6]

Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.[7]

Dokumen Kependudukan tersebut meliputi:[8]

a. Biodata Penduduk;

b. KK;

c. KTP;

d. surat keterangan kependudukan; dan

e. Akta Pencatatan Sipil

Sedangkan yang disebut dengan Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.[9]

Data perseorangan meliputi:[10]

a. nomor KK;

b. NIK;

c. nama lengkap;

d. jenis kelamin;

e. tempat lahir;

f. tanggal/bulan/tahun lahir;

g. golongan darah;

h. agama/kepercayaan;

i. status perkawinan;

j. …..

k. ….

l. Dsb.

Jadi KTP merupakan dokumen kependudukan resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang memuat data kependudukan yang diperoleh dari kegiatan pendaftaran penduduk. KTP juga memuat data pribadi/data perseorangan sebagaimana kami sebutkan di atas.

Menyorot pertanyaan Anda, data perseorangan dan dokumen kependudukan wajib disimpan dan dilindungi kerahasiaannya oleh Negara.[11]

Tanggung Jawab Mendagri

Menteri Dalam Negeri (“Mendagri”) sebagai penanggung jawab memberikan hak akses Data Kependudukan kepada petugas provinsi dan petugas Instansi Pelaksana serta pengguna.[12]

Yang dimaksud dengan pengguna antara lain lembaga negara, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau badan hukum Indonesia.[13]

Mendagri sebagai penanggung jawab juga memberikan hak akses Data Pribadi kepada petugas provinsi dan petugas Instansi Pelaksana.[14]

Penyebarluasan Data Kependudukan dan Data Pribadi Tanpa Hak

Larangan penyebarluasan Data Kependudukan diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU 24/2013 yang berbunyi:

Petugas dan pengguna dilarang menyebarluaskan Data Kependudukan yang tidak sesuai dengan kewenangannya.

Sementara itu, larangan penyebarluasan Data Pribadi diatur dalam Pasal 86 ayat (1a) UU 24/2013 yang berbunyi:

Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menyebarluaskan Data Pribadi yang tidak sesuai dengan kewenangannya.

Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dan Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25 juta.[15]

Sebagaimana diinformasikan dalam artikel AJI: Pembocoran Data E-KTP oleh Mendagri Langgar Privasi yang kami akses dari laman media Tirto.id, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Suwarjono, berpendapat bahwa Menteri Dalam Negeri yang menyebarluaskan identitas pribadi orator telah melanggar jaminan perlindungan hak pribadi dan jaminan kebebasan hak berpendapat warga negara yang dijamin Pasal 28E ayat (2) dan (3) serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Jadi hak privasi seorang warga negara dijamin dan dilindungi oleh negara, tindakan yang penyebarluasakan identitas warga negara merupakan perbuatan yang melanggar jaminan perlindungan hak privasi seorang warga negara. Setiap orang dilarang menyebarluaskan Data Kependudukan dan Data Pribadi seseorang jika di luar kewenangannya. Data Perseorangan dan Dokumen Kependudukan seseorang seperti KTP wajib disimpan dan dilindungi kerahasiaannya oleh negara.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan;

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebgaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

[1] Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016

[2] Pasal 1 angka 14 UU 24/2013

[3] Pasal 1 angka 8 UU 24/2013

[4] Lihat Pasal 1 angka 10 UU 24/2013

[5] Pasal 1 angka 10 UU 24/2013

[6] Pasal 1 angka 9 UU 24/2013

[7] Pasal 1 angka 9 UU 24/2013

[8] Pasal 59 ayat (1) UU 23/2006

[9] Pasal 1 angka 22 UU 24/2013

[10] Pasal 58 ayat (2) UU 24/2013

[11] Pasal 79 ayat (1) UU 24/2013

[12] Pasal 79 ayat (2) UU 24/2013

[13] Penjelasan Pasal 79 ayat (2) UU 24/2013

[14] Pasal 86 ayat (1) UU 24/2013

[15] Pasal 95A UU 24/2013

sumber: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt591a556ceaded/hukumnya-menyebarluaskan-identitas-orang-lain