PERADI dan SKMA No.073/KMA/HK.01/IX/2015

PERADI

Peradi lahir berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat BAB X ORGANISASI ADVOKAT Pasal 28 ayat (1), bunyi Pasal 28 (1), seharusnya inilah satu-satunya Organisasi Advokat (OA) yang dimaksud didalam UU Advokat yang menjalankan fungsi-fungsi pelimpahan kewenangan dibidang keadvokatan yang menurut MK PERADI adalah independen state organ yang menjalankan kewenangan negara.

Tujuan mulia lahirnya satu-satunya Organisasi Advokat yang menaungi dan mengayomi 8 organisasi advokat yang telah berjasa didalam membentuk dan menetapkan Kode Etik Advokat pada tahun 2002 hingga lahirnya UU yang khusus mengatur tentang Advokat dan melahirkan Organisasi Advokat yang bernama PERADI ternyata tidak berjalan mulus, hal ini disebabkan “ketidakmampuan” dalam memanajemen Organisasi Advokat PERADI dan kekeliruan dalam menjalankan kewenangan yang dilimpahkan oleh Negara kepada PERADI.

Hingga pada akhirnya PERADI pecah menjadi 3 versi yang mana hingga saat ini 3 versi tersebut menjalankan perekrutan dan pengangkatan dengan nama dan logo yang sama yaitu PERADI. Perpecahan dan “ketidakmampuan” dalam menjaga dan memanajemen Organisasi Peradi inilah yang akhirnya disikapi oleh Mahkamah Agung RI melalui SKMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015.

 

SKMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015

Atas kemelut dan “ketidakmampuan” mengurus manajemen Organisasi Advokat PERADI inilah Ketua Mahkamah Agung RI Prof.Dr.M.HATTA ALI,S.H.,M.H. mengeluarkan surat ketua mahkamah agung kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi dengan nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 dengan klasifikasi penting yang isinya adalah mengenai petunjuk penyumpahan Advokat diwilayah hukum Pengadilan Tinggi diseluruh Indonesia.

Bahwa Ketua Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat tersebut untuk mengantisipasi konflik yang berkepanjangan dan menjadi “teguran” bagi Pengurus PERADI untuk dapat menjalankan roda organisasi secara baik dan benar menurut kewenangan yang diberikan oleh UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sangat memprihatinkan walaupun surat ini dikeluarkan supaya menjadi “tegoran” ternyata tidak diindahkan juga oleh PERADI yang malah “asyik” menjalankan perekrutan dengan nama dan logo yang sama-sama PERADI.

 

Akibat SKMA

Walaupun Ketua Mahkamah Agung RI dalam mengeluarkan SKMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015 memiliki tujuan yang baik, tetapi pada kenyataannya ini justru menjadi preseden buruk bagi dunia Advokat saat ini. Hal ini menimbulkan euforia dalam membuat organisasi, merekrut dan mengangkat Advokat yang secara nyata tidak berpedoman kepada UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Kejadian tersebut juga diperparah dengan tidak adanya petunjuk lanjutan dari Ketua Mahkamah Agung RI dalam menyeleksi permohonan bagi pengangkatan sumpah Advokat kepada Pengadilan Tinggi. Sudah seharusnya Ketua Mahkamah Agung RI memberikan petunjuk lebih lanjut agar Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia berpegang pada UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat dan benar-benar melakukan validasi keabsahan persyaratan – persyaratan yang diajukan guna diangkat sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi.

Kejadian ini apabila didiamkan adalah merupakan perbuatan yang dilarang dan melanggar hukum, sebab apabila Ketua Pengadilan Tinggi tidak menjalankan validasi keabsahan para peserta pengangkatan sumpah, maka dapat pula dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Hal-hal yang sangat rawan dan “tidak lagi menjadi perhatian” diantaranya:

  1. Umur organisasi advokat yang didirikan sangat baru, tetapi sudah bisa mengajukan sumpah kepada Pengadilan Tinggi dan dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi.
  2. Magang selama 2 tahun, seharusnya divalidasi antara organisasinya, pendidikan profesi, ujian profesi dan ijazah kelulusan.
  3. Tidak berstatus sebagai PNS/TNI/Polri/Penyelenggara Negara.
  4. Tidak pernah dipidana dalam putusan pengadilan.

Bahwa Pengadilan Tinggi memiliki kewenangan untuk melakukan validasi keabsahan terhadap dokumen persyaratan yang disampaikan kepadanya dari Organisasi, sebab didalam pengajuan sumpah profesi kepada Pengadilan Tinggi para Advokat yang akan diambil sumpahnya telah pula menyetorkan biaya yang tidak murah untuk pelaksanaan kegiatan pengangkatan sumpahnya.

 

Kesimpulan

  1. SKMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung RI karena “ketidakmampuan” PERADI dalam menjaga dan memanajemen Organisasi Advokat yang satu-satunya yang diberi nama PERADI yang sesuai dengan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.
  2. Akibat dari SKMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 ternyata menimbulkan dampak “buruk” bagi dunia Advokat yang dikenal sebagai profesi yang mulia (officium nobile).
  3. Lahirnya komersialisasi dibidang pendidikan dan rusaknya standar berdasarkan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, walaupun hingga saat ini UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat belum dirubah tetapi seolah-oleh dianggap telah dirubah.

Saran

  1. Ketua Mahkamah Agung RI harus segera mengeluarkan surat edaran agar seluruh Ketua Pengadilan Tinggi melaksanakan tugas dan tanggungjawab serta menjalankan kewenangan secara ketat didalam melakukan validasi keabsahan persyaratan terhadap organisasi yang mengajukan dan persyaratan terhadap Advokat yang akan diangkat sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi.
  2. Ketua Mahkamah Agung RI mengeluarkan moratorium pengangkatan sumpah Advokat, hingga para Advokat menjalankan kongres bersama guna mendapatkan organisasi yang sesuai dengan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.
  3. Mahkamah Agung RI memberikan pelatihan dan pembekalan kepada pengurus organisasi advokat yang sesuai dengan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebab kewenangan tersebut pada awalnya berada di tangan Negara, sehingga pengurus organisasi advokat yang manjalankan amanah tersebut haruslah dibekali sehingga tidak over kewenangan dan bisa mengerti tugas serta tangunggjawabnya.